Dalam buku Wedha dan WPAP, Pak Wedha menulis
tentang makna, yang pada intinya WPAP dapat berbicara lebih dari seribu makna.
WPAP Semarang mencoba lebih bisa bermakna dengan membuat acara “WPAP Semarang
Berbagi”. Yaitu pengumpulan sumbangan untuk teman-teman kita yang membutuhkan.
Bagaimanapun kami
sebagai komunitas, merasa bukan hanya ingin memberikan satu atau dua makna saja
bagi masyarakat Semarang pada khususnya. Tapi dapat memberi seribu makna jika bisa. Jika belum, setidaknya berusaha
ke arah sana.
Sejak tanggal 3 Juni
2018, kami menggalang dana secara terbuka melalui berbagai media sosial. Sumbangan
yang kami terima hanya berupa uang tunai saja. 9 Juni 2018 kami menutup
pengumpulan dana itu. Setelahnya tanggal 10 Juni 2018 kami akan menyalurkannya
ke Panti. Dalam poster sengaja kami tidak mencantumkan nama panti asuhan dengan
berbagai pertimbangan dan diskusi dengan pengelola panti.
Rifdah:
Pemberi Pertolongan
Pukul 10 tepat kami
sampai di titik temu sebelum menuju panti. Menghitung donasi yang terkumpul,
menghubungi teman yang masih tidur, dan sedikit bercanda “Sarapan sek yok ben kuat poso tekan maghrib”😜. Tetapi karena satu
dan lain hal kami berangkat menuju panti pukul 11.
Sampai di lokasi, Panti
Asuhan Cacat Ganda Al Rifdah Semarang. Jujur saja saya tidak tahu tentang
keadaan panti yang sebenarnya, karena tidak ikut survei tempat pada waktu itu. Hal
pertama yang saya lakukan setelah melihat keadaan di sana hanya diam mengikuti Mas
Sony dari belakang, belum terpikir untuk melakukan hal lain selain itu dan
cengar cengir sendiri entah kepada siapa.
Lalu saya diperkenalkan kepada Bu Neneng, pengelola
panti tersebut. Beliau ramah. Tidak tampak ada kelelahan di wajahnya, padahal
saya peribadi sudah lemas sebenarnya melihat keadaan adik-adik di sana.
“Kalau mau lihat balita
di sebelah sana,” kata Bu Neneng.
Kami menuju kamar yang
dimaksud Bu Neneng. Kamar itu tertutup, tidak boleh ada yang memasukinya
kecuali pengelola. Ada beberapa anak berumur tiga bulan sampai lima tahun di
kamar itu. Kami hanya bisa menengok lewat jendela.
“Yang kiri itu,
ditemukan di sawah lalu dirawat oleh dinas kesehatan, karena tidak ada
perkembangan, belum bisa jalan belum bisa bicara oleh dinas kesehatan dibawa ke
sini.” Bu Neneng menceritakan beberapa latar belakang anak di sana.
Ada 38 orang yang
diasuh oleh Bu Neneng dan kawan-kawannya, dan semuanya memiliki sakit fisik
maupun mental. Ah, hanya orang-orang terpilih saja yang ikhlas mengorbankan
hidupnya melakukan pengabdian itu. Semoga kita menjadi salah satunya.
Berkenalan
Dengan Hemm
Setelah melihat
balita-balita kami masuk ke kamar adik-adik yang mungkin berumur sembilan tahun
ke atas. Sedikit lama di panti, saya lebih bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitas, saya mulai melambaikan tangan, tersenyum dengan mereka,
berjabat tangan dan saya sempat berkenalan dengan salah satu anak di sana. Dia
yang memanggil saya lebih dulu, senang pernah sedekat itu dengannya.
Saya berjabat tangan
dengannya, tangan dia lemah pada awalnya. Lalu beberapa detik kemudian dia
memegang lengan kiri saya dengan sangat kuat. Saya bisa merasakan tangannya
kasar dan ada kulit-kulit mati terkelupas. Saya mencoba mengajaknya berbicara
banyak. Saya bertanya namanya, dia hanya menjawab “hemm”, kedua kalinya saya
bertanya hal yang sama pun dia hanya
menjawab “hemm”. Akhirnya saya memanggilnya, hemm.
Berbeda dengan
tangannya, wajahnya halus, tapi halusnya kering. Dia nyaman saat saya memegang
pipinya, saat saya menurunkan tangan kanan saya, dia memegangnya dan menaruh
tangan kanan saya di pipinya lagi. Dia adik perempuan yang cantik di mata saya.
Saya mencium pipi
kanannya sekali, dia diam saja membiarkan, padahal sedari tadi dia tidak bisa
diam dan terus menerus menarik-narik palan tangan kiri saya. Saat itu, saya
peribadi ingin menangis, bayangan saya sampai mana-mana, keluarga saya lengkap
setiap hari saya bisa dapat ciuman dari mereka dan tidak ada satupun dari
keluarga besar saya yang memiliki cacat fisik ataupun mental. Tetapi di balik
itu semua sedikit sekali saya bersyukur.
Setelahnya saya melihat
dia menjerit-jerit dengan suara yang melengkirng saat berebut gambar WPAP
dengan temannya. Tiga orang ikut melerai, Mas Annas salah satunya. Bodohnya
saya malah takut. Ya sudahlah, lupakan itu.
Semoga
Bu Neneng menemui kami
kembali. Berbicara banyak. Beliau juga bertanya-tanya soal komunitas WPAP dan
cara membuatnya. Kami terlibat perbincangan yang lumayan panjang. Beliau juga
bercerita awalnya 5 anak yang panti ini tolong, sekarang ada 38. Diantara
anak-anak itu ada yang kakak beradik yang keduanya tidak sempurna secara fisik
dan mental.
“Ayahnya pergi, dan
ibunya stress,” Kata Bu Neneng.
Selain dari WPAP
Semarang banyak yang datang ke sana. Bahkan kami mendapati tumpukan gunung
kardus-kardus kosong bekas isi sumbangan. Ada sedikit perasaan lega, karena
banyak yang membantu adik-adik di sana.
“Tidak berharap mereka
sembuh keseluruhan, karena itu bawaan lahir, tapi paling tidak mereka bisa
makan sendiri, bisa mengurus diri mereka sendiri, itu sudah cukup,” Kata Bu
Neneng.
Setelah terdengar
kumandang azan, foto, dan menyerahkan sumbangan, kami pamit dan mengucapkan
terima kasih. Satu jam kami di sana. Semoga lain waktu bisa berbuat lebih
banyak untuk mereka. Semoga Bu Neneng dan kawan-kawan dikuatkan dan dipermudah
segala yang disemogakan. Aamiin. []
Semarang, 11 Juni 2018
by : @nana.ratnapurnama
EmoticonEmoticon