Minggu, 24 Juni 2018

WPAP dan Makna Berbagi

Tags



Dalam buku Wedha dan WPAP, Pak Wedha menulis tentang makna, yang pada intinya WPAP dapat berbicara lebih dari seribu makna. WPAP Semarang mencoba lebih bisa bermakna dengan membuat acara “WPAP Semarang Berbagi”. Yaitu pengumpulan sumbangan untuk teman-teman kita yang membutuhkan.
Bagaimanapun kami sebagai komunitas, merasa bukan hanya ingin memberikan satu atau dua makna saja bagi masyarakat Semarang pada khususnya. Tapi dapat memberi seribu makna jika bisa. Jika belum, setidaknya berusaha ke arah sana.

Sejak tanggal 3 Juni 2018, kami menggalang dana secara terbuka melalui berbagai media sosial. Sumbangan yang kami terima hanya berupa uang tunai saja. 9 Juni 2018 kami menutup pengumpulan dana itu. Setelahnya tanggal 10 Juni 2018 kami akan menyalurkannya ke Panti. Dalam poster sengaja kami tidak mencantumkan nama panti asuhan dengan berbagai pertimbangan dan diskusi dengan pengelola panti.
Rifdah: Pemberi Pertolongan
Pukul 10 tepat kami sampai di titik temu sebelum menuju panti. Menghitung donasi yang terkumpul, menghubungi teman yang masih tidur, dan sedikit bercanda “Sarapan sek yok ben kuat poso tekan maghrib”😜. Tetapi karena satu dan lain hal kami berangkat menuju panti pukul 11.
Sampai di lokasi, Panti Asuhan Cacat Ganda Al Rifdah Semarang. Jujur saja saya tidak tahu tentang keadaan panti yang sebenarnya, karena tidak ikut survei tempat pada waktu itu. Hal pertama yang saya lakukan setelah melihat keadaan di sana hanya diam mengikuti Mas Sony dari belakang, belum terpikir untuk melakukan hal lain selain itu dan cengar cengir sendiri entah kepada siapa.
Lalu saya  diperkenalkan kepada Bu Neneng, pengelola panti tersebut. Beliau ramah. Tidak tampak ada kelelahan di wajahnya, padahal saya peribadi sudah lemas sebenarnya melihat keadaan adik-adik di sana.

“Kalau mau lihat balita di sebelah sana,” kata Bu Neneng.
Kami menuju kamar yang dimaksud Bu Neneng. Kamar itu tertutup, tidak boleh ada yang memasukinya kecuali pengelola. Ada beberapa anak berumur tiga bulan sampai lima tahun di kamar itu. Kami hanya bisa menengok lewat jendela.
“Yang kiri itu, ditemukan di sawah lalu dirawat oleh dinas kesehatan, karena tidak ada perkembangan, belum bisa jalan belum bisa bicara oleh dinas kesehatan dibawa ke sini.” Bu Neneng menceritakan beberapa latar belakang anak di sana.
Ada 38 orang yang diasuh oleh Bu Neneng dan kawan-kawannya, dan semuanya memiliki sakit fisik maupun mental. Ah, hanya orang-orang terpilih saja yang ikhlas mengorbankan hidupnya melakukan pengabdian itu. Semoga kita menjadi salah satunya.
Berkenalan Dengan Hemm
Setelah melihat balita-balita kami masuk ke kamar adik-adik yang mungkin berumur sembilan tahun ke atas. Sedikit lama di panti, saya lebih bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitas, saya mulai melambaikan tangan, tersenyum dengan mereka, berjabat tangan dan saya sempat berkenalan dengan salah satu anak di sana. Dia yang memanggil saya lebih dulu, senang pernah sedekat itu dengannya.



Saya berjabat tangan dengannya, tangan dia lemah pada awalnya. Lalu beberapa detik kemudian dia memegang lengan kiri saya dengan sangat kuat. Saya bisa merasakan tangannya kasar dan ada kulit-kulit mati terkelupas. Saya mencoba mengajaknya berbicara banyak. Saya bertanya namanya, dia hanya menjawab “hemm”, kedua kalinya saya bertanya hal yang sama pun  dia hanya menjawab “hemm”. Akhirnya saya memanggilnya, hemm.
Berbeda dengan tangannya, wajahnya halus, tapi halusnya kering. Dia nyaman saat saya memegang pipinya, saat saya menurunkan tangan kanan saya, dia memegangnya dan menaruh tangan kanan saya di pipinya lagi. Dia adik perempuan yang cantik di mata saya.
Saya mencium pipi kanannya sekali, dia diam saja membiarkan, padahal sedari tadi dia tidak bisa diam dan terus menerus menarik-narik palan tangan kiri saya. Saat itu, saya peribadi ingin menangis, bayangan saya sampai mana-mana, keluarga saya lengkap setiap hari saya bisa dapat ciuman dari mereka dan tidak ada satupun dari keluarga besar saya yang memiliki cacat fisik ataupun mental. Tetapi di balik itu semua sedikit sekali saya bersyukur.

Setelahnya saya melihat dia menjerit-jerit dengan suara yang melengkirng saat berebut gambar WPAP dengan temannya. Tiga orang ikut melerai, Mas Annas salah satunya. Bodohnya saya malah takut. Ya sudahlah, lupakan itu.
Semoga
Bu Neneng menemui kami kembali. Berbicara banyak. Beliau juga bertanya-tanya soal komunitas WPAP dan cara membuatnya. Kami terlibat perbincangan yang lumayan panjang. Beliau juga bercerita awalnya 5 anak yang panti ini tolong, sekarang ada 38. Diantara anak-anak itu ada yang kakak beradik yang keduanya tidak sempurna secara fisik dan mental.
“Ayahnya pergi, dan ibunya stress,” Kata Bu Neneng.
Selain dari WPAP Semarang banyak yang datang ke sana. Bahkan kami mendapati tumpukan gunung kardus-kardus kosong bekas isi sumbangan. Ada sedikit perasaan lega, karena banyak yang membantu adik-adik di sana.

“Tidak berharap mereka sembuh keseluruhan, karena itu bawaan lahir, tapi paling tidak mereka bisa makan sendiri, bisa mengurus diri mereka sendiri, itu sudah cukup,” Kata Bu Neneng.
Setelah terdengar kumandang azan, foto, dan menyerahkan sumbangan, kami pamit dan mengucapkan terima kasih. Satu jam kami di sana. Semoga lain waktu bisa berbuat lebih banyak untuk mereka. Semoga Bu Neneng dan kawan-kawan dikuatkan dan dipermudah segala yang disemogakan. Aamiin. []
                                                                                                               Semarang, 11 Juni 2018
                                                                                                                                        by : @nana.ratnapurnama

Artikel Terkait

This Is The Newest Post


EmoticonEmoticon